Loading...

Nadin Amizah - Untuk Dunia, Cinta, dan Kotornya

Ulasan Album kedua Nadin Amizah. Ditulis dengan cinta (dan sedikit kotor) oleh [At]Kuntilawak.
Sorai
"Lagu Cinta Sejati atau Perjalanan Menemukan Diri Sendiri? Pendengar yang Menentukan."
 
Saya tertegun sebentar membaca penggalan tajuk rilis yang saya terima. Ini juga yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk mengulas album ini. Sebelumnya, saya perlu memberitahukan bahwa lagu-lagu Nadin Amizah selama ini tidak ada di ‘gelas teh’ saya. Saya tidak pernah dengan sadar memilih untuk mendengarkan Nadin Amizah. Mungkin lagu-lagunya hanya saya dengar ketika sekitar saya memutarnya, atau ya, dari sound TikTok. Saya cukup memahami bahwa beberapa lagu Nadin Amizah sering viral di jagat maya. Mungkin banyak orang merasa ‘terkait’ (relate) dengan lirik di lagu Nadin.
 
Saya pribadi, selama ini, tidak.
 
Tapi, ada yang beda dari album Nadin Amizah kali ini secara menyeluruh. Saya rasa, saya salah menilai beberapa lagu di album ini yang sudah rilis duluan. Saya merasa ada sedikit banyak keresahan yang dibawakan sesuai dengan nilai diri atau setidaknya pengalaman pribadi saya sebagai perempuan, sebagai anak. Ulasan ini akan berusaha mengelaborasikan apa yang saya maksud, dan kemungkinan besar kamu tidak akan menemukan saya terlalu banyak membahas dari sisi teknis musik untuk album ini.
 
Saya sendiri dibesarkan oleh seorang perempuan yang tampaknya gagal mencintai dirinya sendiri. Ya, mama saya. Mama saya adalah orang yang saya rasa cukup kompleks, kadang saya tidak bisa memahami pemikiran dan keputusannya. Ia selalu merasa hidupnya sulit, lelah, merasa tidak dicintai sekitarnya, berkeluh-kesah terus menerus bahkan ketika ada suatu hal yang seharusnya patut disyukuri. Sedikit banyak, sifat-sifat itu menurun ke saya sebagian besar. Sebagian lainnya mati-matian saya coba untuk lepaskan, unlearn, saya tidak mau mengadopsi nilai-nilai itu terus. Yang kemudian saya sadari, dan ini tentu jadi masalah, mama saya sepertinya belum, atau tidak akan menemukan cara untuk mencintai dirinya sendiri. Alhasil, ia sulit mengartikulasikan perasaan sayangnya sendiri ke orang lain. Saya sendiri tidak terlalu mengenal bagaimana pribadi ayah saya. Yang saya tahu, dia juga kurang bisa mengekspresikan rasa sayangnya ke sekitar. Beliau tipe yang langsung take action kalau ada apa-apa, padahal kadang-kadang kami di rumah juga butuh afirmasi kata cinta darinya—atau setidaknya, saya yang butuh afirmasi tersebut.
 
Besar dengan tidak mengenal bagaimana cinta di rumah membuat saya mencari bentuk cinta bukan ke diri sendiri, malahan menyasar ke orang lain. Saya kerepotan mencari cinta dari mana saja; teman, partner, pasangan kasual, mantan, ah siapapun yang mau. Kodependensi ini bahkan ada di tahap mengkhawatirkan dan perlu diobati. Sampai suatu hari, saya disarankan oleh psikiater saya, selain ambil terapi obat, coba latihan mandiri dengan membaca dan mengisi buku How to Respect Myself. Saya malu sekali, segitunya saya tidak mampu mencintai diri saya sendiri?
 
Lantas, saya kira saya sendiri. Ternyata, banyak juga yang merasa seperti ini. Bahkan, saya sedikit berpikir mungkin saja Nadin juga begini. Album ini sempat saya pandang sebelah mata sebelum mendengarkan dan membaca rilisnya, “Alah, paling album menye-menye cinta lagi ini”, batin saya. Karena lagu-lagunya yang telah rilis duluan, misalnya “Rayuan Perempuan Gila” dan ”Semua Aku Dirayakan”, buat saya ya begitu saja. Arogansi saya itu luruh seiring saya membaca kisah di baliknya dan mendengarkan secara keseluruhan albumnya. Saya berusaha mendefinisikan ulang. Semoga saya berhasil.
 
Jika sebelumnya narasi yang dibawakan di album perdananya, Selamat Ulang Tahun (2020) adalah perjalanan Nadin Amizah dari masa kecilnya hingga beranjak dewasa, saya rasa album Untuk Dunia, Cinta dan Kotornya (2023) melanjutkan kisahnya di semesta Nadin Amizah kini. Untuk Dunia, Cinta dan Kotornya yang dirilis 13 Oktober 2023 ini memang secara visi artistik lebih matang dibandingkan Selamat Ulang Tahun
 
Untuk Dunia, Cinta dan Kotornya sendiri dinyatakan memiliki tema besar tentang "menemukan cinta untuk diri sendiri melalui cinta orang lain”. Nadin Amizah ingin meleburkan konsep bahwa mungkin harus lewat dicintai orang lain dulu untuk bisa mencintai diri sendiri. Masa sih, kenapa begitu? Memangnya sesulit itu mencintai diri sendiri? Ya, pertanyaan ini retoris.
 
Saya iseng mencari, kenapa perempuan cenderung sulit untuk mencintai dirinya sendiri. Menurut artikel yang ditulis oleh Sunita Osborn, PsyD, MA di laman https://therapist.com/self-development/self-love-women/, penyebab sulit sekali mencintai diri sendiri bagi perempuan adalah karena perempuan seringkali dihadapkan pada sejumlah 'keharusan' untuk banyak hal. Harus bersikap manis, menyenangkan, mampu melakukan banyak hal dalam satu waktu. Tak ayal, konsep keperempuanan juga disamakan dengan keibuan. Bahwa ketidakinginan atau ketidakmampuan untuk nurturing menjadi alasan utama perempuan mempertanyakan jati diri. Secara menyeluruh, hal ini menciptakan standar 'cinta bersyarat' yang 'unik bin merepotkan' bagi perempuan. Cinta diri sendiri akhirnya seringkali didasarkan pada semua pemenuhan syarat ini. Terasa rumit sekali, saya agak pusing membaca pendapat ahli ini. Pusing, karena ya, benar.
 
Mungkin jadi wajar, jika Nadin Amizah berusaha memaknai cinta orang lain sebagai cara lain untuk kita mencintai diri sendiri. Karena nyatanya, memang sesulit itu. Nadin Amizah sendiri mengalihwahanakan perasaannya yang sedang bahagia oleh hubungan asmaranya kini ke album ini. Ia merasa bahwa hubungannya terasa lebih baik dari yang pernah dialami. Maka terciptalah beberapa lagu cinta. Namun, rasanya kurang afdol bagi Nadin jika tidak membuat lagu yang bercerita tentang momen ia merasa tidak dicintai. Bahkan seorang Nadin Amizah yang saya rasa punya sangat banyak amat kelebihan, pun ternyata pernah mengalami krisis diri seperti ini.
 
Pemaknaan dari tajuk album ini juga menarik bagi saya pribadi. Kenapa mendadak di antara ‘dunia’ dan ‘cinta’, ada ‘kotor’? Saya kepikiran itu saat pertama kali membaca judulnya. Ternyata, hal ini berdasar dari persepsi publik tentang citra diri Nadin Amizah. Citra diri Nadin memang entah disengaja atau secara organik terbentuk sebagai 'ibu peri'. Makhluk tanpa cacat baik hati yang akan mengabulkan semua hal. Ternyata, Nadin Amizah sendiri ingin persepsi publik ini 'diluruskan'. Ia ingin dilihat sebagai musisi yang tak hanya punya sisi putih bersih, melainkan ia juga manusia biasa yang punya kotor. Itulah sebabnya, judul album ini dibuatnya demikian.
 
Di album ini, Nadin Amizah bekerja sama dengan lima produser, yaitu Lafa Pratomo Setio Windarko, Gusti Irwan Wibowo, Rifan Kalbuadi, Will Mara dan Rayhan Rizki Ramadhan. Selain itu, Zulqi Ramadhana turut terlibat dalam komposisi lagu, serta ada pula peran dari Salmantyo Ashrizky Priadi dan Teddy Adhitya Hamzah yang membantu merangkai nada di ‘Bunga Tidur’. Mereka semua berperan besar untuk membangun musikalitas Nadin Amizah di album ini secara khusus. 
 
Oke, sekarang saya akan mencoba untuk mengulas album ini. Album ini berisi 11 lagu dengan durasi total 51 menit 37 detik. Cover album Untuk Dunia, Cinta dan Kotornya merupakan sebuah kolase dari empat foto grayscale bersubjek dua orang berusia lanjut, laki-laki dan perempuan, berpose seakan sedang di sebuah photobox. Dari ekspresi dan gesturnya, tampak bahwa mereka saling menyayangi. Sedikit membuat perasaan saya terenyuh. 
 
Album dibuka oleh lini bertajuk “Jangan Ditelan”. Saya pertama kali membaca, tertawa kecil. Karena saya berpikir, ini apanya yang jangan ditelan? Agak jorok pikiran saya. Lalu saya coba dengarkan lagunya. Secara aransemen, hanya terdengar komposisi berupa dentuman dan ‘tepukan’. Vokal Nadin di sini hampir seperti berorasi dengan nada. Karena beberapa bagian seperti ingin menegaskan liriknya yang cukup implisit, dengan pilihan kata yang sederhana. Saya bisa katakan, kemampuan mengonsep lirik Nadin Amizah memang sangat baik. Di departemen lirik, diksi yang dipakai Nadin Amizah tidak selalu berbunga dan rumit. Tak kurangnya pula berhasil membuat saya berpikir. Saya kembali memutar ulang lagunya, untuk menemukan makna “Jangan Ditelan” ini. Di bagian ulangan lagu (chorus), terdapat setarik lirik "Jangan ditelan banyak-banyak/Aku dan pahitku/Dan kotorku/Persetan siapa aku". Saya mencoba menginterpretasikan bagian ini sebagai harapan Nadin agar orang lain tidak menelan bulat-bulat sifat buruk yang ia miliki. Ia berharap bahwa orang-orang bisa menerima dirinya dengan segala pahit dan kotornya—dan sungguh, memang harusnya persetan siapa Nadin. Saya setuju bahwa ekspektasi manusia lain terhadap diri kita sendiri terkadang memberatkan. Lagu ini cuma berdurasi 1 menit 55 detik, namun cukup kuat untuk membuat kita mau melanjutkan mendengarkan album ini.
 
Dilanjutkan dengan “Bunga Tidur”, intro-nya mengingatkan saya dengan Silampukau. Setuju, tidak? Tenang, bagian selanjutnya tidak, kok. Lagu ini punya lirik yang lebih sulit dicerna untuk saya yang bukan lulusan sastra ini. Saya asumsikan, lagu ini bercerita tentang seseorang yang selalu menjadi 'bunga tidur' baginya. Entah, ada perasaan bahwa sebenarnya si 'bunga tidur' ini bukanlah orang yang baik. Sedikit banyak, saya berpikir ada latar hubungan toksik (toxic relationship) di sini. Tergambar sedikit di "Terpatri dalam/Kau tak baik 'tuk diusahakan//". Atau malah, Nadin sedang bercengkrama dengan alam bawah sadarnya sendiri, karena selanjutnya ada "Bunga tidur/engkau penuh takut". Saya lebih suka memikirkan bahwa lini ini perihal bicara dengan benak sendiri, daripada kemungkinan hubungan toksik. Jangan sampai.
 
Kita sekarang beranjak ke lagu yang pasti familiar di telinga kita semua bahkan sebelum album ini rilis. Ya, benar, “Rayuan Perempuan Gila” yang meledak menjadi tren sound TikTok medio 2023 ini. Lagu ini kental sekali dengan irama keroncongnya, dan kabarnya, “Rayuan Perempuan Gila” pun sudah mendapatkan nominasi AMI Awards 2023. Sangat pantas. Hanya saja kalau boleh jujur, saya kurang suka lagu ini di awal masifnya. Lagu ini jadi, maaf, cringe karena lagu ini dipakai oleh beberapa warganet untuk mengglorifikasikan istilah ‘cegil’. For the record, saya merinding mengetik kata tersebut barusan. Di luar itu, lagu ini nyaman didengar kok kalau misal kita kesampingkan riak-riak tersebut. Menurut saya, sebenarnya yang perlu digarisbawahi adalah kesadaran diri (self-consciousness) yang ada di lirik lagu ini. “Selalu tahu akan ditinggalkan/Namun demi Tuhan aku berusaha//” adalah sebuah peak moment mawas diri sembari juga berkeinginan untuk menjadi diri yang lebih baik. Saya suka. Dan sembari mengetik bagian ini, saya tanpa sadar dari tadi bersenandung mengikuti lagunya. Nah lho, jadi saya kurang suka atau diam-diam lagu ini sudah menyelinap di memori saya?
 
“Ah” sebagai lagu keempat dari album ini bernuansa pop alternatif nan santai. Sedikit banyak, saya jadi ingat nuansa di beberapa lagu Danilla. Saya langsung tahu kenapa lagu ini nuansanya begini. Bagian "Penungguan lama yang terbayar/Beribu lautan yang kulayar sebelummu//" menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa kehidupan percintaan Nadin Amizah mulai membaik. Entah, saya berkaca-kaca? Tidak sampai menetes, sih. Mungkin sedikit banyak karena iri. Saya mau juga kalau bisa menemukan tempat "Untuk bermuara pada sandaran yang ingin aku". Saya cukup sekali mendengarkan lagu ini untuk paham bahwa lagu ini mungkin saja suatu hari masuk ke daftar lagu yang akan dimainkan di pernikahan seseorang. 
 
“Semua Aku Dirayakan” juga tak kalah fenomenal berkat algoritma. Semua orang ingin dirayakan, ya iya, who doesn’t? Saya ingat betul tren konten orang-orang memamerkan bagaimana mereka dirayakan oleh orang yang penting untuk mereka. Saya selalu melihat konten serupa dengan wajah datar. Karena saya sangat lupa rasanya. Terlalu banyak pengalaman dibom cinta atau sekaligus kekurangan perhatian yang membuat saya tidak percaya dengan perayaan-perayaan kecil seseorang terhadap saya. Skeptis, mungkin. Di saat yang bersamaan, saya tersadar. Bahwa "Tiada yang bilang/Badainya kan reda//" benar adanya. Terlepas dari perayaan atas kita, badai juga masih ada. Untuk mengimbangi goncangannya, akan sangat menyenangkan jika ada yang mencium api marah kita dan meluluhkan kacaunya. Nadin Amizah beruntung.
 
“Kekal” masih punya cerita yang hampir mirip dengan “Semua Aku Dirayakan”. Di lagu ini, Nadin cenderung bercerita tentang keinginannya untuk selalu bersama dan bahagia dengan orang yang ada dengannya sekarang. Nadin terasa mensyukuri kehadiran orang tersebut lewat larik “Yang memeluk jiwa kecilku/Dan semua-semua aku//”. Ku rasa, di lagu ini tidak terlalu banyak hal spesial. Malah agak cenderung membosankan. Saya maju cepat ke lagu selanjutnya.
 
Trek ketujuh adalah “Di Akhir Perang”. Saya terus terang mulai agak bingung. Perang apa yang dimaksud di sini? Sepanjang lagunya, tidak terlalu jelas penggambaran perangnya. Apakah perang dengan diri sendiri, atau dengan faktor eksternal diri. Dan panah seperti apa yang dimaksud di bagian “Perang telah usai/Aku bisa pulang/Kubaringkan panah dan berteriak//”. Panah itu berupa apa? Self-esteem? Bantuan dari orang lain? Dengan adanya kubaringkan panah, asumsi saya Nadin memegang senjatanya sendiri. Entah apa yang dimaksud sebagai senjatanya. Yang saya tangkap, ada usaha dua arah dari Nadin dengan sosok yang diceritakan di lagu ini untuk saling belajar menjadi lebih baik.
 
“Tapi Diterima” punya lirik yang jadi favorit saya dari keseluruhan album, yaitu “Belum pernah aku menghidupkan sesuatu/Tapi di pelukku engkau tumbuh//”. Tidak semua orang punya ini. Lagi-lagi, saya patah hati kecil karena secara otomatis langsung adu nasib. Kok, kayaknya, semua hal di pelukku antara gersang, mau lepas, atau mati total ya? Sulit sekali menikmati album ini untuk orang yang belum berhasil mencintai diri sendiri seperti saya ini.
 
Kita langsung menuju “Berpayung Tuhan” saja. Lagu ini didapuk menjadi pemeran utama dari album ini. Saya berusaha mencari alasannya. Ide tinggal di angkasa selalu menarik buat saya. Hal ini yang terpikir oleh saya begitu mendengar lagunya dimulai dengan lirik yang membahas itu. Secara personal, saya merasa lagu ini dijadikan jangkar albumnya karena ini adalah titik di mana Nadin hanya tinggal berharap semuanya baik-baik saja sampai waktu yang tidak ditentukan. Jalan hidup Nadin yang masih panjang membuatnya memutuskan untuk merapalkan harap saja lewat lagu ini. Ada banyak 'biar' yang terucap sepanjang lagu. Tiap 'biar'-nya saya aminkan.
 
“Tawa” merupakan sebuah lini berupa lagu pop riang dengan isian gitar yang membuatnya terkesan ‘megah’. Di lagu ini, Nadin menceritakan bagaimana dia akhirnya menerima dirinya dan juga mengisyaratkan bahwa orang di sekitarnya pun sudah tahu bagaimana ‘warna’ aslinya. 
 
Album ini pun diakhiri dengan lagu yang, ya, sangat cinta diri, tajuknya “Nadin Amizah”. Saya dulu pernah kepikiran bagaimana perasaan Hans Citra Patria disebut namanya di salah satu lagu Sajama Cut. Sekarang saya menambah pikiran dengan berpikir, “Apa ya rasanya menulis lagu atas nama diri sendiri?”. Nadin di lagu ini seakan bicara dengan inner child-nya. Ia meyakinkan bahwa apa yang dicita-citakan banyak yang sudah tercapai, banyak yang patut disyukuri. Ia pun menutup album ini dengan kalimat pamungkas, "Hai, Nadin Amizah/Kutahu kamu//". Sebuah wujud cinta diri sebenar-benarnya, mengetahui siapa kita.
 
Secara keseluruhan, album ini bisa dinikmati sebagai satu cerita utuh untuk mengetahui bagaimana pahit getirnya krisis diri yang pernah dialami Nadin Amizah, dan mungkin juga pernah dialami oleh semua orang, terkhusus perempuan. Kita diberi contoh cara untuk menerima diri lewat diterima oleh orang lain. Album ini mengingatkan saya pula untuk kembali mencoba berdiskusi dengan diri sendiri; sebenarnya, saya ini siapa? Kenalkah saya dengan saya? Alih-alih, saya yang harus melakukan perjalanan menemukan diri sendiri, bukan Nadin.
 
- Puti Cinintya Arie Safitri

Tentang Penulis
Menulis, memotret, tapi lebih sering main Township.
View all posts