Adi Alam - Tutup Mata Sejenak
"Selang setahun dari breakthrough EP-nya Terang Gelap Adi Alam kembali di gerbang antara 2024 dan 2025 ini dengan single "Tutup Mata Sejenak" yang rilis pada 20 Desember. Bisa dibilang rilisan kali ini menjadi bukti pertumbuhan dan progressnya selama ini apalagi dia semakin aktif di Earhouse Songwriting Club, Pamulang.
Gatal rasanya mencatut pengaruh-pengaruh seperti Jason Molina, Sun Kil Moon atau Alexi Murdoch, tapi rasanya lebih tepat untuk memberinya impresi seperti "bersahabat dengan akustik ruang studio dan meminimalisir ambient" daripada "dropping names" ndakik-ndakik. Kali ini, Adi Alam menonjolkan "kejernihan" suara instrumen ala musik alternatif 90an yang sudah lama tidak kita dengar di kepungan musik-musik sintetis di era ini, Rendi ‘Kopay’ Raditya sebagai produser telah bertugas dengan sempurna.
Tema yang laid back pula tidak luput dari diksi-diksi puitis seperti penggalan lirik "di antara duri dan api" dan apalagi chorus "Tutup mata sejenak/dan kini kau tahu masa depan yang kau tuju", menambah tajamnya aura lagu ini dalam mengantar kita beristirahat. Lagu "Tutup Mata Sejenak" seakan mensinyalkan kematangan dan level start baru dalam perjalanan Adi Alam di blantika musik nasional.
- Alfan Rahadi (guest reviewer)
Sekusi - Smaranada
Band asal Yogyakarta ini memperkenalkan diri mereka ke dunia musik melalui single perdana mereka, "Smaranada". Lagu ini menawarkan pengalaman mendengar yang emosional, memadukan lirik yang puitis dengan aransemen musik yang atmosferik.
Aku tertarik dengan judul lagunya yang begitu asing. Saat aku cari tahu, kata "Smaranada" sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti harmoni ingatan atau melodi kenangan. Sekusi berhasil menyusun lirik yang tidak hanya menyentuh, tetapi juga memiliki kedalaman emosional yang kuat. Lagu ini menggambarkan perasaan seseorang yang terus dihantui oleh bayangan masa lalu, seolah-olah kenangan itu masih nyata. Liriknya berbicara tentang harapan yang tak tersampaikan dan rasa kehilangan.
Dibuka dengan petikan gitar yang lembut dan dentingan keyboard yang menciptakan suasana hening dan reflektif. Sang vokalis juga dapat membawakan lagu ini begitu intim dan penuh perasaan. Suaranya yang lembut namun penuh karakter mampu menghidupkan setiap kata dalam lirik, seolah-olah ia sedang bercerita langsung kepada pendengar. Seakan menumpahkan emosinya dengan sangat terasa, membuat pendengar ikut merasakan kesedihan yang ia sampaikan.
"Smaranada" adalah debut yang cukup menjanjikan dari Sekusi. Lagu ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya sekadar band baru, tetapi juga memiliki identitas musik yang kuat dan kemampuan untuk menyampaikan emosi yang dalam melalui musik.
Dengan lirik yang puitis, aransemen musik yang atmosferik, dan vokal yang penuh perasaan, lagu ini sangat cocok bagi mereka yang sedang mengalami atau mengenang sebuah kehilangan.
- Abigail
The Jansen - Racun Suara
“Racun Suara” berdurasi 8 menit.
Presumsi awal saya: ini bakal progresif atau repetitif? Setelah didengar, ternyata yang kedua. Di kuping saya, lagu ini punya nuansa ala soundtrack Spaghetti Western, mengingatkan pada “Knights of Cydonia”-nya Muse. Sound design dan delivery vokalnya mendukung kesan itu. Dan yang terpenting: Tidak membosankan.
Seperti biasa, lirik Adji punya wittiness-nya sendiri. Minim bunga-bunga, tapi kadang satu-dua kosakata unik nyelonong masuk dengan cuek. “Represif bukan cara untuk berekspresif,” misalnya, adalah contoh poetic license yang surprisingly works.
Lagu ini terasa makin relevan, terutama di tengah rezim yang makin militeristik. Pembredelan, pembungkaman, intimidasi terjadi di segala lini. Dan berkaca pada sejarah, setiap masa genting melahirkan produk-produk budaya yang jadi cerminnya.
Jika dulu kita punya “Bongkar”, “Peradaban”, dan “Mosi Tidak Percaya”, “Racun Suara” adalah acungan jari tengah buat gerombolan biadab bermoncong gaban di masa sekarang.
-KMPL-
Sepertinya menjadi band punk yang biasanya rilis lagu berdurasi 1-3 menit, tidak cukup bagi The Jansen untuk merangkum keresahannya terhadap negara dan aparatnya belakangan ini, atau mungkin dari dulu (?)
8 menit! The jansen ber-orasi melalui Racun Suara yang mereka rilis di kanal Bandcampnya.
Setelah fokus mendengarkan selama 8 menit, banyak instrumen-instrumen musik yang tidak lumrah dalam musik punk, tapi melekat dengan lagunya.
Magis! Satu kata buat menggambarkan Racun Suara ini.
Bagaimana tidak, tiba-tiba aku terhanyut dalam imajinasi dan ingatanku ketika turun ke-jalan. Se-akan-akan teringat wajah para demonstran yang secara tiba-tiba bergerak secara slow motion. Mengepal tangan kanan dan membawa toa di tangan kirinya, lalu diacungkanlah ke gedung yang katanya (?) berisi perwakilan kami itu, lalu The Jansen - Racun Suara sebagai BGM-nya (Backrgorund Music, read).
Berlebihan? Mungkin. Tapi se-magis itu lagu perlawanan ini. Setidaknya bagi saya.
The Jansen - Racun Suara sudah rilis secara gratis di kanal Bandcamp-nya, sebar luaskan!
- Zico Bonetti
Egha Myatkhan - The Origins
Bukan sekadar lagu, tetapi sebuah pengalaman mendengarkan yang membawa pendengar pada perjalanan introspektif. Dengan lirik yang penuh makna, aransemen yang kaya, dan vokal yang emosional, Egha Myatkhan berhasil menciptakan lagu yang tidak hanya enak didengar, tetapi juga menyentuh jiwa. Lagu ini menjadi penutup yang sempurna untuk albumnya yaitu Zero Two One, meninggalkan kesan mendalam bagi siapa saja yang mendengarkannya.
- Abigail
Anov Blues One - Tukibul 25
Setelah kolaborasinya bersama Ashley Hamel, ia kembali meluncurkan karyanya dengan merilis single terbaru berjudul "Tukibul 25". Ternyata, lagu ini merupakan pengembangan dari karya sebelumnya, "Tukibul" dan "Tukobel", yang dirilis pada tahun 2024. Penggunaan "gitar cangkul" sebagai instrumen utama memberikan nuansa unik dan autentik pada lagu ini. Aransemen musiknya sederhana namun efektif, dengan riff gitar yang catchy dan ritme yang mendukung emosi dari lirik yang ia sampaikan.
- Abigail
Static Years - That Depends On You
Mini album yang berjudul "That Depends On You" dari Static Years menghadirkan kombinasi hardcore dan emo dengan lirik personal yang kuat. Berisi enam lagu, EP ini menggambarkan dinamika kehidupan dan hubungan manusia dengan aransemen yang emosional. Konsepnya diibaratkan seperti perjalanan naik bianglala, melambangkan naik turunnya fase kehidupan. Mereka berhasil menciptakan atmosfer yang khas, meskipun masih ada beberapa aspek yang bisa diperbaiki agar lebih matang.
- Abigail
IGMO - Curriculum
Aku mencoba dengerin single baru IGMO bolak-balik. “Curriculum” ini kayak familiar di kopeng mungilku, entah kinda similar dengan apa (yang jelas ndak aseng)-- aku lupa. Intinya groovy-cigs-ads-coded, switch di gending “cengcet” kebudayaannya.
Kalo bicara soal teori musik secara praktikal tentu bukan ghuwe orangnya, tapi soal nuansa dan rasa, ini lebih dari cukup bikin nyeletuk “Lho cox!” “Curriculum” ini beyond dan karakter IGMO-nya stick like a glue serta sting like a bee.
Good one, dan ya: terasa referensi Yes-nya!
- Josep Malang Raya (Guest Reviewer)
Satu Per Empat - Semoga Beruntung Nasib Buruk (Album)
Satu: Lusinan band-band kebelet sastrais harus segera belajar kepada Satu Per Empat tentang cara menulis lirik Indonesia yang baik, benar, dan indah.
Dua: pendek saja. Ini album paripurna secara lirik, musik, dan produksi. AMI Awards (dan award-award-an lain) sebaiknya segera tobat: kosongkan kategorinya dan berikan langsung pialanya ke Trio ini. OK?
-KMPL-